Oleh : Siddiq Fadzil
Zaman Edan
Fenomena keqarunan-kegilaan merebut kekayaan dan penyalahgunaannya-adalah fenomena yang seringkali berulang dalam sejarah. Yang berbeza hanya rupa dan skalanya. Dalam konteks rantau ini kita menemukan sejumlah catatan tentang babak-babak zaman kebejatan, kegilaan, kezaliman dan lain-lain yang semakna. Pujangga terakhir dalam sejarah kepustakaan Jawa tradisional, Ronggowarsito (1802-1873) misalnya telah merakamkan situasa sezamannya (abad 19) yang disebutnya sebagai jaman edan (zaman gila). Penamaan tersebut memang menepati realiti zaman itu yang memang dicirikan oleh kegilaan memperebutkan kekayaan dan kedudukan dengan apa jua cara, termasuk cara-cara yang curang. Dalam situasi tersebut hanya yang gila dan yang mahu ikut gila sahaja yang mendapat habuan dan menyapu bersih semuanya sehingga tidak ada yang tersisa buat yang tidak gila dan yang tidak mahu ikut gila. Dalam bukunya Kalathida (Zaman Cacat) Ronggowarsito menjelaskan situasi jaman edan itu menerusi ungkapan-ungkapan puitis seperti berikut :
Hidup di zaman edan
gelap jiwa bingung pikiran
turut edan hati tak tahan
batin merana dan penasaran
tertindas dan kelaparan
api janji Tuhan sudah pasti
seuntung apa pun orang yang lupa daratan
lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.
(Ahmad Norma; 1998)
Jaman edan adalah semacam kutukan zaman atau jaman kena pakewuh yang ditandai oleh pelbagai keruntuhan, “negara yang kehilangan wibawa, penguasa yang kehilangan etika, masyarakat yang kehilangan pranata dan alam yang terus melahirkan bencana”. Untuk bersikap lurus dan murni dalam budaya gila seperti itu memang tidak mudah. Namun demikian, sebagai pujangga pemegang amanah keilmuan, Ronggowarsito tetap setia dengan tugas dan missinya menegakkan nilai-nilai murni menerusi mesej kepujanggaan yang cukup tajam, “sak beja bejane wong kang lali, luweh bejo wong kang eleng lan waspada” (seuntung-untung orang yang lupa, lebih untung lagi orang yang beringat dan berwaspada).
Sebenarnya fenomena zaman gila seperti yang digambarkan itu tidak timbul secara mendadak dan tiba-tiba. Ia sudah lama menggejala sebelum era kepujanggaan Ronggowarsito. Sejak zaman datuknya, Sosodipuro II yang juga seorang pujangga kerajaan Surakarta, situasinya sudah cukup parah. Dalam karyanya Wicara Keras, dengan nada marah, pujangga Yosodipuro II merakamkan keprihatinannya terhadap tingkah dan olah sewenang-wenangnya para penguasa zamannya,
Jika tidak demikian,
pasti tertukar iblis,
ketika ibunya bersenggama denga bapaknya dulu,
setan ikut besenggama, jika bukan hantu,
keranenya bertindak sesat,
berlaku bejar,
menindas sesame bangsa.
Memuja nafsu diri,
ingin dipuji, sebagai pandai (bistari),
perempuan lacur, nampak bagai bidadari,
jika merasa tersinggung,
sesame bangsa lalu berkelahi,
tanpa tenggang rasa, mengancam-mengintimidasi,
apakah akan begitu kalau memang berani.
Beraninya dengan bangsa sendiri,
sampai rela mengorbankan jiwa,
biasanya orang yang memang pemberani,
seperti sultan mangkubumi,
pertapa dan rendah hati,
selalu pandai membawa diri,
segala perselisihan dihindari,
berkata baik tak pernah menyakiti,
sederhana tapi mumpuni,
tidak mau memusuhi bangsa sendiri.
Catat Ulasan